Mengungkap Plot yang Mengejutkan dari Novel You Are (not) My Bestfriend
Anjungganjang.com - Hai, Sobat Anjungganjang! Kali ini kita akan ngobrolin pengalaman seru sekaligus bikin bingung saat membaca novel You Are (not) My Bestfriend karya Esi Lahur. Jujur, novel ini bikin saya ngalamin campur aduk perasaan yang bikin enggak tahu harus senyum atau kecewa. Dari yang awalnya ekspektasi tinggi, berakhir dengan perasaan "kok gini sih?" Penasaran, kan? Yuk, simak pengalaman membaca saya!
Kisah Awal yang Biasa, Tapi Seru Juga!
Saat membuka halaman pertama, Sobat akan dibawa ke kehidupan Ingrid, seorang gadis remaja yang baru saja pindah dari Kopenhagen ke Jakarta. Sudah kebayang kan, gimana rasanya jadi murid pindahan yang harus menyesuaikan diri setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri? Ingrid harus beradaptasi dengan suasana Jakarta yang sangat berbeda dari kehidupannya di Denmark, apalagi sekolah barunya, SMA Bhinneka.
Nah, awalnya cerita ini berasa banget teenlit-nya. Ingrid yang culture shock dengan kehidupan di Jakarta, mulai dari panasnya cuaca, ramainya kota, sampai peraturan sekolah yang mewajibkannya ikut ekskul jurnalistik. Kebayang dong, gimana bingungnya dia? Tapi dari situ, Ingrid mulai kenalan sama Orella dan Shirley, teman barunya yang akhirnya ngebantu dia mulai betah dengan kehidupan di Indonesia. Ceritanya seputar persahabatan mereka ini bikin saya merasa, "Oke, mungkin ini novel teenlit yang bakal menyenangkan dengan bumbu persahabatan dan kisah cinta ala remaja."
Dan jujur, bagian ini masih menyenangkan buat diikuti. Bagaimana Ingrid perlahan-lahan mulai membuka diri dan mulai menyukai Jakarta, meski dia tetap merasa nggak bisa melupakan Kopenhagen.
Cerita yang Tiba-tiba Berubah Arah
Sampai di sini, Sobat mungkin akan merasa novel ini bakal berjalan di jalur yang "aman" seperti teenlit pada umumnya. Saya juga berpikir begitu, sampai akhirnya cerita tiba-tiba berubah drastis!
Seiring waktu, Ingrid mulai terlibat dengan karakter-karakter lain seperti Mirabel dan Mita. Sobat pasti tahu tipe-tipe karakter ini, kan? Mereka cewek populer di sekolah, yang awalnya suka nyebelin banget dan bikin masalah dengan Ingrid. Tapi, alih-alih terus jadi antagonis, entah gimana ceritanya, mereka malah berteman! Geng yang awalnya terpecah jadi bersatu. Sebenarnya, kalau dilihat sekilas, bagian ini agak nggak masuk akal, tapi ya sudah, saya masih menikmati alurnya.
Lalu, datanglah momen yang benar-benar bikin saya tersentak.
Tiba-tiba, novel ini berubah menjadi cerita misteri! Yup, Sobat nggak salah baca. Dari awal yang tenang dengan kisah persahabatan dan adaptasi, tiba-tiba novel ini menghadirkan kejadian kematian misterius seorang siswa di sekolah. Dan yang bikin makin mengejutkan, Mita, salah satu karakter yang tadinya "biasa-biasa aja" malah jadi kunci dari perubahan genre ini.
Saya mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya fokus cerita ini? Dari yang awalnya tentang remaja yang harus menghadapi masalah sosial di sekolah, tiba-tiba jadi novel yang membahas pembunuhan dan misteri psikologis. Buat Sobat yang suka kejutan, mungkin bagian ini justru bakal bikin cerita jadi lebih menarik. Tapi bagi saya, plot twist yang muncul terlalu mendadak dan nggak dipersiapkan dengan baik di awal cerita. Rasanya seperti membaca dua novel dalam satu buku.
Kelemahan Karakter dan Plot yang Nanggung
Selain perubahan genre yang mendadak, ada beberapa hal lain yang juga terasa mengganggu saat membaca novel ini. Misalnya, karakter-karakter cowok seperti Elang dan Salvo. Mereka digambarkan sebagai sosok yang penting di awal, tapi lama-lama perannya terasa semakin kabur dan nggak signifikan. Di awal, Elang digambarkan sebagai cowok cool yang menarik perhatian Ingrid. Saya sempat berpikir mungkin ada kisah cinta segitiga yang akan berkembang antara Ingrid, Elang, dan Salvo. Tapi sayangnya, plot ini nggak dikembangkan dengan baik.
Elang dan Salvo, yang tadinya saya harapkan jadi karakter penting, malah cuma jadi "figuran" di cerita yang semakin absurd ini. Saya sampai bertanya-tanya, apa sih fungsi mereka di cerita ini selain jadi tempelan? Saya yakin banyak dari Sobat yang juga mungkin berpikir sama saat membaca novel ini.
Selain itu, perkembangan karakter Mita sebagai pelaku dalam cerita misteri ini terasa kurang kuat. Penulis sepertinya berusaha menggambarkan Mita sebagai sosok psikopat yang misterius, tapi sayangnya eksekusinya kurang berhasil. Sebagai penggemar genre thriller, saya merasa karakter Mita terlalu dipaksakan. Bagaimana Mita menjalani kehidupannya sebagai "psikopat" nggak terasa menegangkan atau mencekam. Alurnya terlalu datar dan nggak memberi efek kejutan yang diharapkan.
Logika Cerita yang Bikin Bingung
Hal lain yang cukup mengganggu adalah logika cerita yang nggak konsisten. Ada beberapa adegan yang bikin saya garuk-garuk kepala karena nggak masuk akal. Misalnya, saat ada adegan interogasi di kantor polisi antara Mirabel dan Mita. Dalam adegan tersebut, polisinya nanya ke Mirabel, tapi yang jawab Mita. Lalu, ada dialog yang sepertinya nggak sinkron dengan adegan tersebut. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang ngomong apa? Apakah ada kesalahan editing di sini atau memang ceritanya yang bikin bingung?
Bagi Sobat yang suka membaca cerita dengan logika yang rapi, mungkin bagian ini bisa bikin sedikit frustrasi. Ada beberapa momen di mana plot terasa loncat-loncat dan nggak terhubung dengan baik. Typo yang muncul di beberapa halaman juga bikin pengalaman membaca jadi kurang menyenangkan. Contohnya, nama Ingrid tiba-tiba ditulis sebagai "Indrid" di salah satu halaman. Typo ini mungkin hal kecil, tapi tetap saja mengganggu ritme cerita.
Kecewa dengan Ending yang Antiklimaks
Dan akhirnya, semua harapan saya tentang cerita ini berakhir dengan perasaan yang agak kecewa. Saat saya sudah menyiapkan diri untuk ending yang epik atau penuh kejutan, ternyata ending-nya justru antiklimaks. Pelaku pembunuhan akhirnya terungkap, tapi rasanya terlalu mudah ditebak. Saya berharap ada lebih banyak drama atau intrik di akhir cerita, tapi sayangnya, cerita justru berakhir dengan datar.
Walaupun penulis mencoba memberikan kejutan dengan plot twist, bagi saya eksekusinya kurang berhasil. Saya merasa novel ini punya potensi yang besar, terutama di awal cerita, tapi sayangnya plotnya terlalu melebar dan nggak fokus.
Kesimpulan: Bukan Novel yang Direkomendasikan
Secara keseluruhan, membaca You Are (not) My Bestfriend adalah pengalaman yang campur aduk. Ada bagian-bagian yang menyenangkan di awal cerita, terutama saat kita diajak mengikuti perjalanan Ingrid menyesuaikan diri di lingkungan barunya. Tapi seiring berjalannya cerita, plot twist yang terlalu mendadak dan logika cerita yang nggak konsisten membuat saya sedikit kecewa.
Buat Sobat yang suka cerita dengan genre campuran antara teenlit dan thriller, mungkin novel ini bisa jadi pilihan menarik. Tapi kalau Sobat mencari cerita dengan plot yang rapi dan karakter yang kuat, mungkin novel ini kurang cocok. Saya pribadi berharap ceritanya bisa lebih fokus dan nggak terlalu melebar ke genre yang berbeda-beda.
Semoga pengalaman saya ini bisa jadi panduan buat Sobat yang penasaran dengan novel You Are (not) My Bestfriend.