Sejarah Letusan Gunung Tambora yang Mengubah Dunia
Anjungganjang.com - Ketika kita bicara tentang bencana alam yang benar-benar berdampak besar pada sejarah dunia, letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Indonesia, pasti masuk ke dalam daftar utama. Awalnya, saya kira letusan Krakatau adalah yang terbesar, tetapi ternyata Tambora memiliki skala yang jauh lebih dahsyat. Itu bukan hanya melempar abu dan lava, tetapi mengubah iklim global, mengganggu ekonomi, dan bahkan, entah bagaimana, terhubung dengan kekalahan Napoleon di Eropa. Aneh ya, bagaimana bencana yang terjadi di Indonesia bisa berpengaruh sampai sejauh itu?
Saya teringat pertama kali mendengar cerita ini dari seorang teman pecinta gunung yang begitu antusias menceritakan betapa tingginya Tambora dulu, sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut—benar-benar raksasa. Dan sekarang, puncaknya tinggal 2.851 meter karena letusan tahun 1815 yang memangkas gunung ini menjadi kaldera raksasa. Saya langsung penasaran, bagaimana letusan bisa mempengaruhi iklim hingga sedrastis itu?
Bayangkan, letusan ini memuntahkan material vulkanik sebanyak 160 kilometer kubik ke udara—itu sama dengan mengosongkan danau besar ke atmosfer! Saking besarnya, efek letusan ini bahkan terasa sampai Eropa dan Amerika Utara yang mengalami “tahun tanpa musim panas” pada tahun 1816. Matahari terhalang oleh abu vulkanik dan gas belerang dari Tambora yang tersebar hingga ke stratosfer. Alhasil, suhu global turun drastis, dan banyak negara mengalami gagal panen. Bayangkan jika kita hidup pada zaman itu; melihat tanaman tidak tumbuh, ternak mati, dan udara yang terus-menerus dingin meskipun sudah musim panas. Betapa mencekamnya suasana saat itu.
Peristiwa Tambora benar-benar membawa dampak yang jauh lebih luas dari yang bisa dibayangkan. Bahkan, tidak sedikit yang berteori bahwa perubahan iklim akibat letusan ini mempengaruhi jalannya pertempuran di Waterloo, di mana pasukan Napoleon terjebak dalam hujan deras dan lumpur, mengurangi efektivitas pasukan berkuda mereka. Kondisi cuaca yang ekstrem ini membuat pergerakan pasukan dan persenjataan menjadi kacau, sementara lawan mereka memiliki keuntungan karena sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. Mungkin kita sering melihat pertempuran dalam film atau buku sejarah, tapi jarang ada yang menyadari bahwa cuaca—akibat letusan di belahan dunia lain—dapat menentukan kemenangan atau kekalahan sebuah perang besar.
Menariknya, letusan Tambora ini juga menghilangkan tiga kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar. Jika kita kunjungi area tersebut sekarang, tentu akan sulit menemukan jejak-jejak kehidupan dari kerajaan tersebut, seolah mereka terhapus begitu saja dari sejarah. Coba bayangkan, ribuan penduduk yang hidup damai di kaki gunung itu, tiba-tiba lenyap dalam semalam karena abu dan aliran lava yang mengerikan. Bagi saya, ini adalah pengingat bahwa kita benar-benar hidup di bawah kekuatan alam yang jauh lebih besar daripada yang bisa kita kendalikan.
Dan jika kita lihat dari sisi geologi, Gunung Tambora ini masuk dalam skala 7 VEI (Volcano Explosivity Index)—satu tingkat di bawah yang tertinggi, skala 8 yang pernah dicapai oleh letusan Toba ribuan tahun lalu. Untuk skala letusan sebesar ini, letusan Tambora benar-benar luar biasa. Dibandingkan dengan letusan Krakatau pada tahun 1883, Tambora lebih kuat hingga delapan kali lipat. Peristiwa ini benar-benar menunjukkan betapa kuatnya alam dan bagaimana dampak yang dihasilkan tidak hanya berdampak pada sekitar tetapi ke seluruh dunia.
Tentu, sebagai seorang yang tertarik pada sejarah dan alam, saya merasa Tambora adalah bukti hidup bahwa alam tidak memiliki batas wilayah. Abu dari letusan Tambora menyebar ke atmosfer, membentuk “tabir surya” yang menghalangi cahaya matahari, membuat suhu bumi menurun secara signifikan. Ini adalah contoh paling nyata dari konsep “global cooling” alami. Berbeda dengan pemanasan global yang kita alami sekarang, letusan ini benar-benar menjadi penyejuk alami, tetapi pada waktu yang tidak tepat.
Ketika membaca berbagai sumber, saya juga menemukan bahwa efek dari letusan ini ternyata cukup fatal bagi kesehatan manusia. Dengan adanya perubahan cuaca dan kondisi lingkungan yang tidak stabil, penyakit seperti tifus dan disentri pun merebak, terutama di Eropa, menyebabkan sekitar 200 ribu kematian dalam beberapa tahun. Tidak hanya Indonesia yang terkena dampak, tetapi bencana ini menyebar sampai ke seluruh dunia. Bukankah itu ironi? Sebuah letusan di pulau kecil di Indonesia bisa menyebabkan kematian di Eropa.
Namun, yang membuat saya terus berpikir adalah betapa kita sering melupakan bahwa alam punya caranya sendiri untuk mengajarkan kita tentang saling ketergantungan. Dari Tambora, kita belajar bahwa perubahan di satu tempat bisa mengakibatkan dampak besar di tempat lain. Kita mungkin menganggap kejadian ini adalah sejarah masa lalu, tetapi sebenarnya, pelajaran dari Tambora masih relevan sampai sekarang. Kita terus-menerus diingatkan bahwa manusia tidak bisa berdiri sendiri tanpa mempertimbangkan alam di sekitarnya.
Dari letusan Gunung Tambora, saya belajar bahwa ada begitu banyak hal yang bisa kita pelajari dari alam, terutama tentang bagaimana kita hidup berdampingan dengan lingkungan. Mungkin, ini adalah salah satu pengingat terbesar dari sejarah bahwa kita harus lebih menghormati alam. Sebagai seorang traveler atau bahkan sekadar orang yang suka membaca kisah-kisah alam, Tambora adalah cerita yang tidak hanya menceritakan bencana, tetapi juga pelajaran tentang kehidupan.